image05 image06 image07

300x250 AD TOP

Feature Label Area

Sabtu, 19 Agustus 2023

Tagged under: ,

Kemerdekaan yang Sesungguhnya

Buletin Kaffah Edisi 306 (1 Shafar 1445 H/18 Agustus 2023 M)

Sebagaimana diketahui, penjajahan di dunia ini bisa dipilah menjadi dua. Pertama, penjajahan fisik. Kedua, penjajahan non-fisik. 

Penjajahan fisik dilakukan dengan pendudukan (ihtilâl); dengan menduduki wilayah, menguasai sumber daya alam, menundukkan sumber daya manusianya, kemudian mengontrol kekuasaan militer, politik, pemerintahan, ekonomi, sosial, dan sebagainya. Inilah yang dilakukan oleh negara-negara penjajah Barat pengusung utama ideologi Kapitalisme-sekularisme pada masa lalu, khususnya di Dunia Islam, termasuk negeri ini. 

Adapun penjajahan non-fisik dilakukan melalui pemikiran, pendidikan, budaya dan soft power yang lainnya. Biasanya dilakukan dengan menggunakan strategi dan agen. Mereka ditanam di semua sektor; mulai dari sektor politik, pemerintahan, militer, ekonomi, budaya, agama, hukum dan sebagainya. Inilah yang dilakukan oleh negara-negara penjajah Barat pengusung utama ideologi Kapitalisme-sekularisme pada masa sekarang, khususnya di Dunia Islam, termasuk negeri ini. 

Karena itu secara de jure negeri-negeri kaum Muslim, termasuk negeri ini, memang sudah dinyatakan merdeka. Ini karena kaum penjajah telah lama meninggalkan negeri kaum Muslim. Namun, secara de facto pemikiran, mindset dan cara pandang penjajah itu tetap dipertahankan, terutama oleh para penguasa dan elit-elit politiknya. Bahkan mereka mengundang penjajah itu untuk mengangkangi dan mengeruk kekayaan negeri mereka atas nama “investasi” dan sebagainya. 

Indonesia Hari Ini

Terkait Indonesia, era penjajahan fisik yang dialami bangsa ini memang sudah lama berakhir. Kaum penjajah yang pernah menjajah negeri ini pun—seperti Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang—sudah lama terusir. Negeri ini bahkan telah merayakan Hari Kemerdekaan sekaligus Hari Ulang Tahun (HUT)-nya yang ke-78. 

Namun sayang, setelah 78 tahun merdeka, cita-cita kemerdekaan yang diharap-harapkan oleh bangsa ini—adil, makmur, sejahtera, gemah ripah loh jinawi—masih jauh panggang dari api. Terbukti, angka kemiskinan masih tinggi. Angka pengangguran masih besar. Biaya pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, masih mahal. Harga BBM, listrik, LPG dan sejumlah kebutuhan pokok terus merangkak naik. Aneka pajak pun terasa makin mencekik.

Di sisi lain, kesenjangan ekonomi makin melebar. Kekayaan alam lebih banyak dinikmati oleh segelintir orang. Mereka adalah para pengusaha dan korporasi asing dan aseng. Merekalah yang selama ini menguasai sebagian besar sumber daya alam (SDA) seperti barang tambang (emas, perak, nikel, tembaga, bijih besi), energi (seperti batubara) dan migas (minyak dan gas). Mereka pun—yakni para oligarki—menguasai sebagian besar lahan, termasuk hutan, yang sebagiannya telah berubah menjadi perkebunan sawit. Total luas area lahan yang mereka kuasai ratusan ribu bahkan jutaan hektar. 

Yang tak kalah memprihatinkan, utang negara makin bertumpuk. Korupsi makin menjadi-jadi. BUMN banyak yang merugi. Banyak proyek infrastruktur yang kemudian menjadi beban negara, seperti proyek kereta cepat dan IKN. 

Pada saat yang sama, ketidakadilan makin nyata. Hukum makin tajam ke bawah dan makin tumpul ke atas. Banyak koruptor dihukum ringan. Bahkan divonis bebas. Sebaliknya, tak sedikit rakyat kecil—misal yang mencuri tak seberapa dan sering karena dorongan rasa lapar—dihukum berat.

Belum lagi kita bicara moral. Sebagaimana diketahui, salah satu cita-cita utama kemerdekaan—terutama yang dirumuskan dalam sistem pendidikan nasional—adalah bagaimana melahirkan generasi yang beriman dan bertakwa. Faktanya, hari ini moralitas generasi muda makin merosot. Perilaku seks bebas makin liar. Bahkan banyak remaja terjerumus ke dalam perilaku LGBT. Banyak dari mereka yang terjerat narkoba. Kasus bullying (perundungan), khususnya di kalangan pelajar dan remaja, juga makin sering terjadi. Bahkan kasus kejahatan dengan pelaku pelajar dan mahasiswa sudah sering kita saksikan. Ragam kriminalitas pun makin hari makin beragam dan makin mengerikan. 

Semua persoalan yang membelit bangsa ini bermuara pada keterjajahan bangsa ini secara non-fisik, bahkan dalam wujud yang paling fundamental: yakni keterjajahan secara pemikiran/ideologi. Harus diakui, bangsa dan negeri ini telah lama terjajah oleh pemikiran/ideologi Kapitalisme-sekuler. Keterjajahan oleh pemikiran/ideologi Kapitalisme-sekuler inilah yang menjadikan bangsa dan negeri ini terjajah secara non-fisik dalam berbagai bidang lainnya. Terjajah secara ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum, pendidikan, dll. 

Dengan demikian, kita memang layak dan wajib bersyukur karena kita telah lama terbebas dari penjajahan fisik. Namun, kita pun harus merasa prihatin dan tidak boleh melupakan bahwa bangsa ini masih dalam keterjajahan secara non-fisik, yang bermuara pada keterjajahan oleh pemikiran/ideologi Kapitalisme-sekuler.

Merdeka dari Segala Bentuk Penjajahan

Penjajahan, baik fisik maupun non-fisik, sesungguhnya merupakan manifestasi dari isti’bâd (perbudakan), yaitu menjadikan manusia sebagai budak bagi manusia lainnya. Karena itu Islam telah mengharamkan penjajahan. Allah SWT berfirman:

إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لاَ إِلَٰهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِي

Sungguh Aku adalah Allah. Tidak ada tuhan yang lain, selain Aku. Karena itu sembahlah Aku (QS Thaha [20]: 14).

Imam ath-Thabari menjelaskan: “Innanî ana Allâh (Sungguh Aku adalah Allah),” bermakna: Allah menyatakan, “Sungguh Akulah Tuhan Yang berhak disembah. Tak ada penghambaan kecuali kepada Dia. Tidak ada satu pun tuhan, kecuali Aku. Karena itu janganlah kalian menyembah yang lain, selain Aku. Sungguh tidak ada yang berhak menjadi tempat menghambakan diri, yang boleh dan layak dijadikan sembahan, selain Aku.” Lalu frasa, “Fa’budnî (Karena itu sembahlah Aku),” bermakna: Allah menyatakan, “Murnikanlah ibadah hanya kepada-Ku, bukan sesembahan lain, selain Aku.” (Ibn Jarir at-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, QS Thaha [20]: 14).

Inilah kalimat tauhid. Kalimat tauhid ini pada dasarnya telah terpatri di dalam hati setiap Muslim. Jika tauhid mereka murni dan jernih, kemudian pemahaman yang terbentuk dari sana juga jernih, maka tauhid itu akan membangkitkan semangat penghambaan hanya kepada Allah. Spirit tauhid ini pun sekaligus akan membangkitkan perlawanan terhadap segala bentuk perbudakan/penghambaan atas sesama manusia, termasuk penjajahan atas segala bangsa. Inilah yang tampak dari kalimat Rub’i bin ‘Amir kepada panglima Persia, Rustum:

اللهُ اِبْتَعَثَنَا لِنُخْرِجَ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ إِلَى عِبَادَةِ اللهِ، وَ مِنْ ضَيْقِ الدُّنْيَا إِلىَ سِعَتِهَا، وَ مِنْ جُوْرِ اْلأَدْيَانِ إِلَى عَدْلِ اْلإِسْلاَمِ

“Allah telah mengirim kami untuk mengeluarkan (memerdekakan) siapa saja yang Dia kehendaki dari penghambaan kepada sesama manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah; dari sempitnya dunia menuju keluasannya; dari kezaliman agama-agama yang ada menuju ke keadilan Islam.” (Ibn Jarir at-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, 3/520; Ibn Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 7/39).

Inilah spirit Islam. Spirit ini muaranya ada pada kalimat tauhid, “Lâ Ilâha illalLâh, Muhammad RasûlulLâh” (Tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah). 

Kemerdekaan Hakiki

Atas dasar itu, menjadi kewajiban kaum Muslim secara bersama, untuk bertafakur menyertai rasa syukur, dengan melihat realitas yang ada di negeri kita di segala bidang, sudahkah sistem yang mengatur kehidupan umat di segala bidang ditegakkan di atas prinsip tauhid? Sudahkah hakikat dan prinsip-prinsip kemerdekaan hakiki menurut ajaran Islam, seperti yang dikemukakan oleh Rub’i bin Amir di atas, telah kita dapatkan?

Jika belum, menjadi tugas kita bersama untuk mewujudkan kemerdekaan hakiki itu. Jika perjuangan dulu bertujuan untuk merebut kemerdekaan dari penjajahan fisik, kini diperlukan perjuangan baru untuk membebaskan umat dari penjajahan ideologi Kapitalisme-sekuler, hukum jahiliah, ekonomi kapitalis, budaya dan segenap tatanan yang tidak islami. Berikutnya kita wajib berjuang untuk menegakkan tatanan masyarakat dan negara yang benar-benar bertumpu pada prinsip-prinsip tauhid. Tatanan tersebut tidak lain adalah tatanan yang diatur oleh aturan-aturan Allah atau syariah Islam. Inilah kemerdekaan hakiki dalam pandangan Islam. 

Dengan demikian, bangsa dan negeri ini bisa dikatakan benar-benar meraih kemerdekaan hakiki ketika mereka mau tunduk sepenuhnya kepada Allah. Tentu dengan menaati seluruh perintah dan larangan-Nya. Caranya dengan melepaskan diri dari belenggu ideologi dan sistem sekuler yang bertentangan dengan tauhid seraya menegakkan sistem Islam secara total. 

Selain itu, misi Islam adalah mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Maka dari itu, tidak ada negeri yang dikuasai Islam berubah kusam, sengsara, mundur dan terbelakang. Pada masa lalu Spanyol dan beberapa negeri Eropa lain, misalnya, justru mencapai kemajuan ketika berada di bawah kekuasaan Islam, saat belahan dunia lain sedang mengalami masa kegelapan. 

Alhasil, bangsa dan negeri ini pun, jika ingin lepas dari “kegelapan” menuju “cahaya”, atau jika ingin bebas dari segala keterpurukan (sebagaimana saat ini) menuju era kebangkitan dan kemajuan, mau tidak mau, harus merujuk pada Islam. Caranya dengan menerapkan pemikiran/ideologi dan sistem Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan. 

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

---*---

Hikmah:

Sayidina Umar bin al-Khaththab ra. berkata:

إِنَّا كُنَّا أَذَلَّ قَوْمٍ، فَأَعَزَّنَا اللهُ بِاْلإِسْلاَمِ. فَمَهْمَا نَطْلُبُ الْعِزَّةَ بِغَيْرِ مَا أَعَزَّنَا اللهُ بِهِ، أَذَلَّنَا اللهُ

Sungguh, kami adalah bangsa yang paling hina. Lalu Allah memuliakan kami dengan Islam. Karena itu tatkala kami mencari kemuliaan tanpa Islam yang dengan Islam itu Allah telah memuliakan kami, Allah pasti akan (kembali) menghinakan kami. (HR al-Hakim).

Jumat, 04 Agustus 2023

Tagged under: ,

Pinjol Makin Menggurita, Rakyat Makin Sengsara

BULETIN DAKWAH KAFFAH – 304*  
17 Muharram 1445 H/04 Agustus 2023 M

Ternyata jutaan rakyat Indonesia terjerat utang riba dari pinjaman _online_ (pinjol) dalam jumlah besar. Pada bulan April 2023, warga DKI Jakarta terjerat pinjol sebesar Rp 10,35 triliun. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat total utang warga lewat pinjaman _online_ se-Indonesia pada Mei 2023 mencapai Rp 51,46 triliun.

Sebagian dari pinjaman itu diakui oleh OJK mengalami kemacetan hingga mencapai Rp 1,72 triliun pada Mei 2023. Para nasabah yang gagal bayar ini mulai tercekik. Sebagian menutupi utang pinjol dengan berutang pada pinjol lain. Ini yang membuat hidup mereka makin susah. Sebagian warga yang putus asa bahkan melakukan bunuh diri. Tercatat sudah ada 12 warga bunuh diri akibat tercekik utang pinjol.


*Mengandung Riba*

Maraknya penyedia jasa pinjaman _online_ (pinjol) tidak lepas dari kondisi masyarakat yang membutuhkan pinjaman untuk kebutuhan sehari-hari. Ada yang karena tekanan ekonomi. Ada pula yang memang untuk membiayai gaya hidup. Keadaan ini ditangkap oleh para pengusaha berotak kapitalis sebagai peluang investasi pinjaman _online_ (pinjol).

Transaksi pinjol semakin besar karena warga merasa prosesnya cepat dan mudah. Pinjol juga menguntungkan para investor. Pada tahun 2020, Pemerintah mengumumkan data putaran uang dalam bisnis pinjol legal dan ilegal mencapai Rp 260 triliun. Namun, maraknya praktik pinjol malah membuat rakyat makin sengsara.

Pemerintah menilai dampak buruk pinjol adalah akibat maraknya pinjol ilegal. Karena itu berbagai upaya dilakukan untuk menutup praktik pinjol ilegal. Warga dianjurkan untuk berhati-hati menggunakan jasa pinjol dan hanya memanfaatkan pinjol yang legal saja.   

Padahal masalah sebenarnya adalah praktik ribawi pada pinjol, baik yang ilegal maupun yang legal. Praktik pinjol yang berjalan selama ini mengandung unsur riba _nasî’ah_. Dalam skema pinjaman _online_, pihak OJK menetapkan bahwa penyedia jasa pinjol boleh memungut bunga pinjaman sampai batas tertentu.

Hukum riba adalah mutlak haram. Keharamannya berdasarkan nas-nas al-Quran dan as-Sunnah. Allah SWT berfirman:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

_Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba_ (TQS al-Baqarah [2]: 275).

Saat Haji Wada, Rasulullah saw. pun telah menjelaskan bahwa semua jenis riba telah dihapuskan. Sabda beliau:

«وَإِنَّ كُلَّ رِبًا كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ»

_Semua riba pada masa jahiliah telah dihapuskan_ (HR Ahmad).
 

*Ancaman Bagi Pelaku Riba*

Keharaman riba dan besarnya dosa riba juga terlihat dari ancaman Allah SWT dan Rasulullah saw. kepada pelakunya. Di antaranya: _Pertama_, sebagian ulama tafsir menjelaskan pelaku riba akan dibangkitkan dari alam kubur seperti orang kerasukan setan karena gila. Allah SWT berfirman:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ 

_Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila_ (TQS al-Baqarah [2]: 275).

_Kedua_: Orang-orang yang masih mempraktikkan riba berarti menyatakan perang kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ

_Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kalian kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba jika kalian orang-orang yang beriman. Jika kalian tidak meninggalkan riba, berarti kalian telah memaklumkan perang kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun, jika kalian bertobat, kalian berhak atas pokok harta kalian. (Dengan begitu) kalian tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan)_ (TQS al-Baqarah [2]: 278-279).

_Ketiga_: Mereka yang terlibat dalam riba dilaknat oleh Nabi saw. Bukan saja pemberinya, tetapi juga saksi dan para pencatatnya. Nabi saw. bersabda:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «‌لَعَنْ آكِلَ ‌الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ» أَوْ قَالَ: «وَشَاهِدَهُ وَكَاتِبَهُ» 

_“Sungguh Nabi saw. telah melaknat pemakan riba, pemberi riba dan dua orang saksinya.” Atau dikatakan, “Saksinya dan pencatatnya.”_ (HR Abu Dawud).

_Keempat_: Pelaku riba akan mendapatkan siksa yang keras di neraka. Rasulullah saw. menuturkan salah satu kejadian yang beliau saksikan di dalam neraka saat perjalanan Mi’raj:

«وَأَتَيْتُ عَلَى قَوْمٍ بُطُونُهُمْ كَالْبُيُوتِ فِيهَا الْحَيَّاتُ تُرَى مِنْ خَارِجِ بُطُونِهِمْ فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلاَءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ هَؤُلاَءِ أَكَلَةُ الرِّبَا»

_Aku diperlihatkan suatu kaum yang perutnya (besar) seperti rumah yang penuh dengan ular dan ular-ular itu terlihat dari luar. Aku bertanya (kepada Jibril), “Siapakah mereka, Jibril?” Ia menjawab, “Mereka adalah para pemakan riba.”_ (HR Ahmad).

Alhasil, persoalannya adalah muamalah ribawi pada pinjol yang jelas haram, bukan persoalan legal atau ilegal.


*Islam Menghapus Riba*

Saat ini riba adalah bagian dari sistem ekonomi kapitalisme. Para kapitalis, seperti para pemilik bank, menjadikan pinjaman sebagai investasi untuk memperkaya diri dengan mengeksploitasi ekonomi orang lain dengan pinjaman berbunga yang mencekik.

Meski sudah banyak menelan korban, karena tak ada pilihan lain, jumlah orang yang terjerat pinjol semakin bertambah setiap tahunnya. OJK mencatat, jumlah penyaluran pinjaman _online_ mencapai Rp 18,96 triliun per November 2022. Angka itu, dibandingkan dengan tahun lalu, meningkat sekitar 46,18%. 

Dalam Islam memberikan utang adalah bagian dari amal salih untuk menolong sesama, bukan investasi untuk mendapatkan keuntungan, apalagi dijadikan alat untuk mengeksploitasi orang lain yang sedang membutuhkan. Nabi saw. bersabda:

«مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ»

_Siapa saja yang meringankan suatu kesusahan (kesedihan) seorang Mukmin di dunia, Allah akan meringankan kesusahannya pada Hari Kiamat. Siapa saja yang memudahkan urusan seseorang yang dalam keadaan sulit, Allah akan memberi dia kemudahan di dunia dan akhirat_ (HR Muslim).
Orang yang memberikan pinjaman pun dianjurkan oleh Allah SWT untuk bersikap baik saat menagih haknya dan memudahkan urusan saudaranya yang meminjam. Allah SWT berfirman:

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

_Jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, berilah tangguh sampai dia lapang. Menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagi kalian jika saja kalian mengetahui_ (TQS al-Baqarah [2]: 280).

Meski demikian seorang Muslim juga diingatkan dengan keras oleh Nabi saw. untuk tidak meremehkan utang dan tidak mudah berutang. Bahkan Aisyah ra. menceritakan bahwa Rasulullah saw. sering memohon kepada Allah SWT perlindungan dari utang. Selain itu, utang yang belum dilunasi di dunia akan dituntut di akhirat. Rasul saw. bersabda:

‏ «نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ»

_Jiwa seorang Mukmin itu terkatung-katung dengan sebab utangnya sampai utangnya dilunasi_ (HR Ahmad).
 
Solusi atas muamalah ribawi hari ini tidak hanya sebatas individu. Ini karena muamalah ribawi telah menjadi persoalan sistemik yang menjerat banyak pihak di negeri ini. Oleh karena itu Islam mewajibkan Negara untuk melindungi rakyat dari praktik muamalah ribawi.

Dalam Islam, Negara Khilafah akan menghapuskan praktik ribawi karena haram, termasuk dosa besar, dan menghancurkan ekonomi. Selanjutnya Khilafah akan menata mekanisme proses utang-piutang yang sedang berjalan agar terbebas dari riba, dengan tetap menjaga hak-hak harta warga negara. Untuk itu, Khalifah akan menetapkan bahwa yang wajib dibayar hanyalah utang pokoknya. Adapun riba/bunga yang telah diambil oleh para pihak pemberi piutang wajib dikembalikan kepada pihak yang berutang.

Khalifah juga akan menjatuhkan sanksi terhadap warga yang masih mempraktikkan muamalah ribawi. Sanksi yang dijatuhkan berupa _ta’zîr_ yang diserahkan pada keputusan hakim, bisa berupa penjara hingga cambuk. Sanksi dijatuhkan kepada semua yang terlibat riba; pemberi riba, pemakan riba, saksi riba dan para pencatatnya.

Kaum Muslim juga harus diingatkan agar tidak bergaya hidup konsumtif dan mudah berutang yang menyebabkan kesusahan. Khalifah Umar bin Abdul Aziz berwasiat, “Aku mewasiatkan kepada kalian agar tidak berutang meskipun kalian merasakan kesulitan. Sebabnya, sungguh utang itu adalah kehinaan pada siang hari dan kesengsaraan pada malam hari. Karena itu tinggalkanlah ia, niscaya kehormatan dan kedudukan kalian akan selamat, dan akan tersisa kemuliaan bagi kalian di antara manusia selama kalian hidup.” (_‘Umar bin Abdil ‘Azîz, Ma’âlim al-Ishlâh wa at-Tajdîd_, 2/71).

Negara Khilafah wajib memberikan rasa aman dan nyaman untuk setiap warganya, termasuk aman karena kebutuhan pokok mereka terpenuhi. Dalam Baitul Mal ada pos-pos pengeluaran yang ditujukan untuk kemaslahatan umum seperti untuk pendidikan, kesehatan, dsb. Di Baitul Mal juga ada Divisi Santunan _(Dîwân al-Athâ’)_ yang menyediakan anggaran khusus untuk kaum fakir, miskin dan warga yang terjerat utang (Abdul Qadim Zallum, _Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah_, hlm. 26).

Wahai kaum Muslim: Tanpa syariah Islam dalam naungan Khilafah, praktik muamalah ribawi akan terus eksis. Artinya, rakyat yang tercekik oleh kaum kapitalis yang berjiwa ribawi akan terus ada, bahkan bertambah. Beginilah hidup tanpa naungan syariah Islam dan pengayoman Khilafah.

_WalLâhu a’lam bi ash-shawâb._ []


*Hikmah:*

Nabi saw. bersabda:

إذا ‌ظهَر ‌الزِّنا والرِّبا في قريةٍ، فقد أحَلُّوا بأنفُسِهِمْ عذابَ الله

_Jika telah terang-terangan zina dan riba di satu negeri, maka mereka telah menghalalkan untuk diri mereka azab Allah.”_ (HR Hakim). []

Senin, 03 Juli 2023

Tagged under: ,

NEGARA WAJIB MENJAGA AKIDAH UMAT

Buletin Kaffah No. 299 (12 Dzulhijjah 1444 H/30 Juni 2023 M)

Akhir-akhir ini publik sedang dihebohkan oleh berita tentang Pondok Pesantren Al-Zaitun pimpinan Panji Gumilang yang berlokasi di Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Banyak pihak menilai Al-Zaytun dan Panji Gumilang telah menyimpang dari ajaran Islam. Berita heboh dimulai saat beredar video pelaksanaan Shalat Idul Fitri di Al-Zaytun yang memperlihatkan adanya sosok wanita di shaf paling depan yang sejajar dengan shaf laki-laki. Video lainnya memperlihatkan Panji Gumilang mengucapkan salam di hadapan jamaahnya dengan ucapan salam yang diduga khas Yahudi. Ada pula cuplikan video ceramah Panji Gumilang yang mengklaim bahwa al-Quran bukanlah firman Allah SWT, tetapi ucapan Nabi Muhammad saw. yang berasal dari wahyu Allah SWT. Klaim ini terkonfirmasi juga saat wawancara eksklusif Panji Gumilang dengan SCTV baru-baru ini. Selain itu, dari berita yang beredar, Al-Zaytun dan Panji Gumilang disinyalir terafilisasi dengan NII KW-9 yang juga dianggap gerakan yang menyimpang. 

Aliran Sesat di Indonesia

Di Indonesia, aliran sesat memang cukup banyak bermunculan. Sebagian ada yang hilang, namun kemudian muncul lagi dengan nama baru. Berdasarkan catatan MUI pada tahun 2016 saja sudah ada lebih dari 300 aliran sesat di Indonesia (Cnnindonesia.com, 2/1/2016). Di antaranya yang sudah resmi difatwakan sesat oleh MUI adalah: Ahmadiyah yang mentahbiskan pendirinya (Mirza Ghulam Ahmad) sebagai nabi; Lia Eden atau Salamullah yang didirikan oleh Lia Aminuddin, yang mengaku pernah bertemu dengan Malaikat Jibril; Al-Qiyadah al-Islamiyah pimpinan Ahmad Moshaddeq yang mengaku sebagai nabi; Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang dianggap meneruskan ajaran Al-Qiyadah al-Islamiyah; Kerajaan Ubur-ubur di Serang Banten; Puang Larang/Tarekat Tajul Khalwatiyah Syekh Yusuf Gowa. Adapun Al-Zaytun, meski sudah berdiri lebih dari 20 tahun, belum secara resmi dinyatakan sesat oleh MUI.  

Pertanyaannya: apa kriterianya sebuah aliran dianggap sesat? Pada tahun 2007 MUI Pusat mengeluarkan rekomendasi/fatwa tentang 10 kriteria sebuah aliran dianggap sesat/menyimpang. Kesepuluh kriteria tersebut adalah: 1. Mengingkari salah satu dari rukun iman yang 6; 2. Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah; 3. Meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran; 4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Quran; 5. Melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir; 6. Mengingkari kedudukan Hadis Nabi saw. sebagai sumber ajaran Islam; 7. Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul; 8. Mengingkari Nabi Muhammad saw. sebagai nabi dan rasul terakhir; 9. Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke Baitullah, salat wajib tidak 5 waktu; 10. Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar'i seperti mengkafirkan Muslim hanya karena bukan kelompoknya (Republika.co.id, 26/10/2017).

Melindungi Aqidah Umat

Salah satu peran negara yang paling utama dalam pandangan Islam adalah menjaga dan melindungi aqidah/keyakinan umat Islam. Munculnya banyak aliran sesat di Indonesia jelas menunjukkan bahwa negara saat ini tidak hadir dalam menjaga dan melindungi aqidah umat Islam. Padahal aliran-aliran sesat itu telah memakan banyak korban dari kalangan umat Islam. Mereka banyak yang akhirnya tersesat/menyimpang dari aqidah Islam yang lurus, bahkan murtad dari Islam. 

Mengapa negara terkesan tidak hadir untuk menjaga dan melindungi aqidah umat Islam? Tidak lain karena negara saat ini menganut dan menerapkan aqidah sekularisme. Sekularisme hakikatnya adalah aqidah sesat. Pasalnya, sekularisme adalah aqidah yang meyakini agama harus dipisahkan dari urusan negara. Dalam negara sekuler, negara tidak boleh campur-tangan dalam urusan keyakinan warga negaranya. Andai ada warga negara yang gonti-ganti agama/keyakinan, negara tak peduli. Negara pun tak akan peduli andai banyak Muslim yang murtad dari Islam, termasuk menganut aliran sesat.  

Padahal dulu Rasulullah saw.—sebagai kepala negara—sangat tegas terhadap aliran yang menyimpang. Sebagaimana diketahui, dalam sejarah Islam, pernah muncul seorang yang mengklaim sebagai nabi (nabi palsu). Dia adalah Musailamah al-Kadzdzab (Musailamah Sang Pendusta). Nama aslinya Musailamah bin Habib dari Bani Hanifah. Berbagai cara dilakukan Musailamah untuk mengukuhkan posisinya. Salah satunya mengirimkan surat kepada Nabi Muhammad saw.  Dalam surat itu, Musailamah meyakinkan bahwa dirinya adalah seorang nabi dan rasul Allah juga, sama seperti Nabi Muhammad saw. 

Nabi Muhammad saw. kemudian mengirimkan surat balasan untuk Musailamah. Sebagaimana dikutip dalam Sirah Ibnu Ishaq, berikut surat balasan Nabi Muhammad saw.:  “Dari Muhammad Rasulullah kepada Musailamah sang Pendusta. Keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk (QS Thaha: 47). Sungguh bumi ini adalah milik Allah. Allah mewariskan bumi ini kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa."  (Ibnu Hisyam, Sîrah Ibnu Hisyâm, 2/601).

Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada akhir tahun ke-10 Hijrah. Namun demikian, balasan surat Nabi Muhammad saw. itu sedikitpun tidak mengubah keyakinan dan semangat Musailamah untuk menyebarkan ajarannya. Bahkan ‘dakwah’ Musailamah semakin aktif setelah Nabi Muhammad saw. wafat. Akibatnya, propaganda yang disebarluaskan Musailamah itu mempengaruhi stabilitas pemerintahan Islam pasca Rasulullah saw., yakni pemerintahan Islam di bawah Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq ra. Karena itu di bawah komando Khalifah Abu Bakar ra., pasukan kaum Muslim kemudian menumpas Musailamah dan pengikutnya dalam Perang Yamamah (12 H) (Al-Mubarakfuri, Ar-Rahîq al-Makhtûm, hlm. 416).   

Sebetulnya, selain Musailamah, di era pemerintahan Islam, khususnya masa Khulafaur Rasyidin dan era setelahnya, masih banyak orang yang menyebarkan aliran sesat/menyimpang. Rata-rata mengklaim sebagai nabi. Mereka sebelumnya adalah Muslim, lalu menyimpang dari ajaran Islam. Disebutkan dalam Nihâyat al-'Alam karya Muhammad al-'Arifi bahwa selain Musailamah, ada beberapa nabi palsu yang hidup pada zaman Rasulullah saw. dan para khalifah sepeninggal beliau. Semuanya diperangi oleh negara, tentu setelah sebelumnya mereka diminta untuk bertobat dan kembali ke dalam pangkuan Islam, tetapi mereka menolak. 

Sekularisme Pangkal Kesesatan

Sekularisme (aqidah yang memisahkan agama dan kehidupan) yang dianut dan diterapkan di negeri ini sesungguhnya adalah pangkal kesesatan. Dari aqidah ini lahir sistem demokrasi yang menjamin kebebasan (liberalisme). Di antaranya kebebasan beragama. Ini tidak ada masalah. Sebabnya, dalam Islam pun setiap orang bebas memeluk agama. Setiap orang tidak boleh dipaksa untuk memeluk agama Islam. Allah SWT berfirman:

لاَ إَكْرَاهَ فِي الدِّيْنِ

Tidak ada paksaan dalam memasuki agama (Islam) (TQS al-Baqarah [2]: 256).

Masalahnya, dalam demokrasi, kebebasan beragama tak hanya dipahami sebagai kebebasan untuk memeluk agama tertentu. Namun faktanya, demokrasi juga menjamin kebebasan orang untuk gonta-ganti agama, termasuk murtad dari agama Islam. Ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ

Siapa saja yang mengganti agamanya (murtad dari Islam) maka bunuhlah (HR al-Bukhari).
 
Demokrasi juga menjamin kebebasan bagi siapapun untuk menyelewengkan ajaran agamanya. Buktinya, munculnya ratusan aliran sesat, termasuk yang menistakan ajaran Islam, terkesan seolah dibiarkan. Belum lagi munculnya beragam pemikiran liberal yang juga sesat dan menyesatkan. Misalnya saja pemikiran tentang pluralisme agama, yang memandang semua agama sama. Juga pemikiran tentang toleransi beragama yang kebablasan, yang melahirkan sinkretisme (campur-aduk) agama seperti doa bersama lintas agama, dll. Semua seolah dibiarkan oleh negara atas nama demokrasi dan kebebasan.
 
Di sisi lain, sikap untuk berpegang teguh pada akidah Islam yang lurus, termasuk pada identitas Islam, keinginan untuk hidup diatur oleh syariah Islam secara kâffah, termasuk mengkaji dan mengajarkan ajaran Islam tentang Khilafah, acapkali dicap sebagai radikal, atau dikaitkan dengan radikalisme, bahkan dengan terorisme. 

Alhasil, sekularisme yang melahirkan kebebasan (liberalisme) justru merupakan pangkal kesesatan. 

Pentingnya Berpegang Teguh pada al-Quran dan as-Sunnah

Di antara dampak buruk sekularisme yang diterapkan di negeri ini adalah menjadikan banyak kaum Muslim tidak lagi berpegang teguh pada agamanya. Mereka tidak lagi berpegang teguh pada al-Quran dan as-Sunnah. Akibatnya, banyak kaum Muslim mudah tersesatkan dari agamanya. Padahal Rasulullah saw. telah menegaskan, saat berkhutbah pada Haji Wada’:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّى قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ

Wahai manusia, sungguh telah aku tinggalkan di tengah-tengah kalian suatu perkara yang jika kalian pegang teguh niscaya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya: Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).

Berpegang teguh pada al-Quran bermakna menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai pedoman hidup. Sikap ini meniscayakan antara lain: Pertama, menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai rujukan (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 59). Kedua, menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai standar halal-haram, benar-salah, dan baik-buruk. Artinya, yang wajib dijadikan tolok ukur adalah apa saja yang diputuskan dan dinyatakan oleh al-Quran dan as-Sunnah (Lihat: QS asy-Syura [42]: 10). Ketiga, mengamalkan seluruh kandungan al-Quran dan as-Sunnah dalam seluruh aspek kehidupan (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 208). 

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

---*---

Hikmah:

Allah SWT berfirman:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Siapa saja yang mencari agama selain Islam tidak akan diterima dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. (TQS Ali ‘Imran [3]: 85).

Minggu, 11 Juni 2023

Tagged under: ,

NEGARA WAJIB MELINDUNGI KEPENTINGAN RAKYAT

Buletin Kaffah No. 296 (20 Dzulqa’dah 1444 H/09 Juni 2023 M)

Setelah dua puluh tahun ekspor pasir laut dilarang, Presiden Jokowi, melalui Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2023, justru kembali memberikan izin. Alasannya, yang ditambang adalah sedimentasi, bukan pasir laut yang katanya akan menjaga kelestarian ekosistem dan menguntungkan alur pelayaran. Selain itu, adanya pemberian izin dan pengawasan terhadap penambangan pasir laut akan menjaga keamanan pantai dari penambangan ilegal. Apalagi, katanya, penambangan secara legal akan memberikan pemasukan bagi negara.

Akan tetapi, banyak kalangan meragukan penjelasan Pemerintah. Sudah banyak bukti rusaknya alam karena pertambangan pasir pantai. Apalagi ternyata pemasukan yang didapat Negara juga kecil. Hanya menguntungkan segelintir pengusaha. Bahkan secara teritori dampak penambangan bisa memberikan ancaman terhadap Negara.

Merusak!

Kekhawatiran akan rusaknya lingkungan akibat penambangan pasir pantai tidak mengada-ada. Di banyak negara, penambangan pasir pantai menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan dan warga. Environmental Reporting Collective (ERC) merilis laporan dampak negatif penambangan pasir di 12 negara yakni Indonesia, Singapura, Kamboja, Vietnam, Thailand, Filipina, Tiongkok, Taiwan, India, Nepal, Sri Lanka hingga Kenya.

Ada sejumlah dampak merusak yang diakibatkan oleh penambangan pasir pantai yang selama ini sudah berjalan. Pertama: Penambangan pasir pantai menyebabkan abrasi besar-besaran yang dapat menenggelamkan pulau yang menjadi kawasan pertambangan. Menurut catatan WALHI, akibat penambangan pasir pantai pada masa lampau, sekitar 20 pulau kecil di sekitar Riau, Maluku dan kepulauan lainnya tenggelam. Disebutkan juga, ada 115 pulau kecil yang terancam tenggelam di wilayah perairan Indonesia.

Kedua: Akibat penambangan pasir secara massif, ekosistem terganggu, baik karena pengerukan pasir maupun pencemaran yang ditimbulkan. Hal ini akan mengancam biota laut, seperti ikan, juga terumbu karang. Dilaporkan, banyak ikan yang semakin berkurang populasinya bahkan terancam punah akibat rusaknya keseimbangan alam.

Ketiga: Rusaknya biota laut juga berdampak pada nafkah para nelayan. Apalagi kawasan pantai dan laut Indonesia juga sudah lama terdampak pencemaran industri merusak lingkungan. Akibatnya, ada sekitar 35 ribu keluarga nelayan di Indonesia sudah kehilangan ruang hidupnya. Sebanyak 6081 desa pesisir, kawasan perairannya, juga telah tercemari limbah pertambangan. Sampai dengan tahun 2040, Pemerintah telah merencanakan proyek pertambangan di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil seluas 12.985.477 hektar.

Keadaan ini selanjutnya akan kian mencekik ekonomi masyarakat nelayan sehingga akan menambah jumlah rakyat miskin di Tanah Air. Menurut data Badan Pusat Statistik atau BPS pada 2018, 20%-48% nelayan di Indonesia masih miskin. Bahkan data pada 2019 menunjukkan kurang dari 14,58 juta jiwa atau sekitar 90% dari 16,2 juta nelayan belum berdaya secara ekonomi maupun politik dan berada di bawah garis kemiskinan.

Keempat: Ekspor pasir pantai untuk tujuan reklamasi negara lain juga mengancam kepentingan dalam negeri dan hanya menguntungkan pihak asing. Luas wilayah Singapura sejak tahun 1965 telah bertambah 25% karena kebijakan reklamasi pantai. Kini luas wilayah Singapura maju sejauh 12 km ke arah perbatasan Indonesia mendekati pulau terluar, Pulau Nipah, Kepulauan Riau. Perairan di pulau tersebut mengalami kenaikan yang menyisakan daratan beberapa meter dari permukaan laut. Ini bisa menyebabkan wilayah perairan internasional, termasuk lebar jalur pelayaran antara Singapura dan Batam, akan tergeser. Perubahan itu otomatis juga akan menggeser masuk wilayah perairan Indonesia, karena lebar jalur pelayaran dihitung dari titik terluar garis pantai.

Sementara itu, Pemerintah Cina yang mengimpor pasir pantai terus mereklamasi kawasan Laut Cina Selatan, termasuk Kepulauan Spratlys yang tengah disengketakan dengan Filipina dan Vietnam. Diduga kuat Cina melakukan reklamasi tanah dengan fasilitas yang berpotensi untuk kepentingan militer. Bukankah ini merupakan ancaman bagi kedaulatan bangsa?
 
Wajib Melindungi Kepemilikan Umum

Dalam Islam, pantai termasuk kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah). Semua rakyat boleh memanfaatkan pantai baik untuk wisata, penelitian, ataupun untuk lahan usaha seperti para nelayan. Karena itu pemberian konsesi yang menghalangi hak warga untuk memanfaatkan kepemilikan umum, termasuk pantai, adalah haram.
Hal ini berdasarkan hadis bahwa para Sahabat pernah mengajukan kepada Rasulullah saw. untuk membangunkan tempat tinggal untuk beliau di Mina. Namun, Rasulullah saw. bersabda:

لاَ، مِنًى مُنَاخُ مَنْ سَبَقَ

Tidak perlu. Mina adalah tempat singgah bagi siapa saja yang datang lebih dulu (HR at-Tirmidzi).

Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum dalam Kitab Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah menjelaskan bahwa Mina adalah tempat yang sudah sangat terkenal. Ia terletak di luar Makkah al-Mukarramah, Mina adalah tempat singgah jamaah haji setelah menyelesaikan wukuf di Arafah dengan tujuan untuk melaksanakan syiar-syiar ibadah haji yang sudah ditentukan, seperti melontar jumrah, menyembelih hewan had (hewan denda), memotong hewan kurban dan bermalam di sana. Makna dari munakh[un] man sabaq (tempat singgah bagi siapa saja yang datang lebih dulu) adalah bahwa Mina merupakan milik seluruh kaum Muslim. Siapa saja yang lebih dulu sampai ke suatu bagian tempat di Mina, lalu menempati tempat itu, maka tempat tersebut adalah bagi dirinya. Ini karena Mina merupakan milik bersama di antara kaum Muslim, bukan milik perorangan yang menjadikan orang lain dilarang memiliki (menempati) tempat tersebut (Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, hlm. 68). 

Dengan demikian segala tindakan dan kebijakan yang menyebabkan warga terhalangi dari mengambil manfaat kepemilikan umum—seperti pantai—adalah haram. Karena itu pemberian konsesi atas kepemilikan umum untuk diolah oleh pribadi atau korporat adalah kebijakan batil dan zalim. Rasulullah saw. telah melarang para Sahabat duduk-duduk di jalan umum karena menghalangi hak pemakai jalan. Sabda beliau:

إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ

Janganlah kalian duduk-duduk di jalan-jalan (umum) (HR al-Bukhari).

Jelas, Nabi saw. telah melarang orang untuk sekadar duduk-duduk di jalan-jalan umum karena akan menghalangi orang yang lalu-lalang. Apalagi pemberian konsesi pertambangan kepada korporat yang bukan saja menghalangi hak warga, tetapi juga merusak lingkungan secara luar biasa. Ini lebih patut untuk dibatalkan.

Wajib Mencegah Bahaya

Selain merampas kepemilikan umum dan melimpahkannya pada swasta, pembukaan pertambangan pasir juga terbukti telah menyebabkan kemadaratan (kerugian) baik bagi lingkungan maupun pada ekonomi warga. Ini adalah bahaya yang wajib dicegah oleh Negara. Islam telah tegas mengharamkan segala hal yang menimbulkan bahaya. Nabi saw. bersabda:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain (HR Malik).

Saat perjalanan menuju Perang Tabuk Baginda Nabi saw. pernah melarang para Sahabat minum air dari sumur di Hijr, melarang berwudhu menggunakan airnya, dan adonan tepung yang telah dibuat dengan air tersebut agar jangan dimakan sedikitpun. Beliau juga melarang para Sahabat keluar pada malam hari tanpa ditemani Sahabat lainnya. Beliau melarang hal tersebut karena tahu bahaya yang akan menimpa kaum Muslim jika melakukan hal tersebut.

Syariah Islam mewajibkan Negara untuk mencegah hal-hal yang dapat menimbulkan bahaya seperti pencemaran, pengrusakan alam, hilangnya mata pencaharian warga, dsb. Penguasa dalam Islam didudukkan sebagai pelindung rakyat, bukan pelayan korporat. Sabda Nabi saw.:

إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ 

Sungguh Imam (pemimpin) itu (laksana) perisai. Di belakang dia orang-orang berperang dan kepada dirinya mereka berlindung (HR al-Bukhari dan Muslim).

Inilah bedanya sistem politik dan negara dalam Islam dengan sistem demokrasi. Dalam demokrasi, meski dikatakan kedaulatan di tangan rakyat, realitanya rakyat tak berdaya ketika penguasa atau wakil rakyat mereka mengesahkan aturan yang merugikan dan merampas hak-hak mereka. Negara dalam demokrasi tunduk pada kepentingan modal dengan dalih pemasukan untuk negara. Padahal jutaan rakyat terdampak dan menderita karena kebijakan tersebut.

Di dalam sistem demokrasi, aturan juga kerap dibuat karena unsur kepentingan para pembuatnya. Mantan Komisioner KPK, Saut Situmorang, mengatakan pembukaan izin ekspor pasir pantai berpotensi jadi “lapak baru” praktik korupsi. Sebabnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan menjadi regulator serta pengawas dan pemberi izin “pemanfaatan” hasil sedimentasi laut yang mencakup pasir laut. 

Saut Situmorang juga menyoroti kerancuan PP yang mengacu pada Undang-Undang Kelautan, dan bukan mengacu Undang-Undang Pertambangan Mineral, dan Batubara. Hal itu tertera dalam Pasal 21 dan 22 PP Nomor 26 Tahun 2023. Menurut Saut, terjadi tumpang tindih regulasi yang menyebabkan conflict of interest antar instansi dan pelaksananya.

Selain itu, sering kebijakan konsesi jadi ajang kongkalikong pengusaha dan penguasa. Para pengusaha berlomba-lomba memberikan sogokan agar diberi konsesi dan dilindungi usahanya. Agar usahanya langgeng, para pengusaha juga akan memberikan dukungan politik ataupun upeti pada elit politik, parpol dan penguasa agar tetap duduk di kekuasaan. Hasilnya, rakyat lagi yang jadi korban. Jelas, ini tak boleh dibiarkan.

Alhasil, di sinilah pentingnya syariah Islam diberlakukan, termasuk dalam pengaturan kepemilikan umum, juga pentingnya sanksi hukum diberlakukan secara tegas atas siapa saja yang merugikan kepentingan umum. 

WalLâhu a’lam. []

---*---

Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

Tidaklah seorang hamba—yang telah Allah beri wewenang untuk mengurus rakyat—mati pada hari kematiannya, sementara dia dalam keadaan menipu rakyatnya, melainkan Allah akan mengharamkan atas dirinya surga. (HR al-Bukhari)

Jumat, 26 Mei 2023

Tagged under: ,

L68T Kriminal, Bukan Kodrat

Buletin Kaffah No. 294 (06 Dzulqa’dah 1444H/26 Mei 2023)

Di tengah penolakan terhadap kedatangan grup musik asal Inggris Coldplay yang sering mengkampanyekan L68T dalam konsernya, tiba-tiba Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan bahwa L68T adalah kodrat. Di depan Rakernas KAHMI di Puncak, Bogor (20/5) Mahfud mengatakan, “Orang L68T kan diciptakan oleh Tuhan. Oleh sebab itu ndak boleh dilarang wong Tuhan yang menyebabkan dia hidupnya menjadi homo, lesbi, tetapi perilakunya yang dipertunjukan kepada orang itulah yang tidak boleh."
 
Selanjutnya Mahfud juga mengatakan KUHP yang baru, yang akan berlaku pada 2026, tidak mengatur L68T, meski ada pihak yang mendorong agar diatur. KUHP hanya mengatur secara umum soal pelecehan yang tidak terbatas pada L68T.

L68T Bukan Kodrat

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kodrat berarti kuasa Tuhan yang manusia tidak akan mampu menentang. Lengkapnya; kodrat/kod·rat/ n 1 kekuasaan (Tuhan): manusia tidak akan mampu menentang -- atas dirinya sebagai makhluk hidup. 

Jika ditelusuri secara akal maupun dalil syariah, pernyataan Mahfud MD kalau L68T itu kodrat dari Tuhan, dan Tuhan yang menyebabkan manusia menjadi homo dan lesbi, jelas batil. Manusia justru diciptakan dengan kodratnya sebagai lelaki dan perempuan. Bukan homoseksual, baik gay atau lesbian. Allah SWT berfirman:

وَمِن كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ 

Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kalian mengingat kebesaran Allah (TQS adz-Dzariyat [51]: 49).

Berkaitan dengan ayat ini Imam Fakhruddin ar-Raziy menyebutkan bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu berpasangan seperti langit berpasangan dengan bumi, musim dingin dengan musim panas, siang dengan malam, wanita pasangannya adalah lelaki, dan lelaki pasangannya adalah wanita. Demikian sebagaimana firman Allah SWT:

وَأَنَّهُۥ خَلَقَ ٱلزَّوْجَيْنِ ٱلذَّكَرَ وَٱلأُنثَىٰ 

Sungguh Dialah Yang menciptakan pasangan laki-laki dan perempuan (TQS an-Najm [53]: 45).

Kaum L68T memang sejak lama mencoba memanipulasi fakta dengan mengatakan bahwa gay disebabkan oleh faktor genetis. Sejumlah ilmuwan pro L68T seperti Magnus Hirscheld pada 1899, juga Dean Hamer, seorang gay, pada tahun 1993 menyatakan teori “Born Gay”. Hasil riset Hamer menyatakan bahwa satu atau beberapa gen yang diturunkan oleh ibu dan terletak di kromosom Xq28 sangat berpengaruh pada orang yang menunjukkan sifat homoseksual.

Namun, teori ini runtuh ketika pada tahun 1999 Prof. George Rice dari Universitas Western Ontario, Kanada, mengadaptasi riset Hamer dengan jumlah responden yang lebih besar. Rice menyatakan, hasil penelitian terbaru menunjukkan faktor genetis tidak mendukung terjadinya homoseksualitas pria, kecuali kebetulan belaka (Science, Vol. 284, No. 5414).

Penelitian juga dilakukan oleh Prof. Alan Sanders dari Universitas Chicago pada tahun 1998-1999. Hasilnya juga tidak mendukung teori hubungan gen dengan homoseksualitas. Penelitian Rice dan Sanders meruntuhkan teori “Born Gay”.

Jika gay dan lesbian bukan kodrat, lalu apa perilaku kaum L68T ini? Tidak lain adalah penyimpangan dan kejahatan. Ini sebagaimana teguran Nabi Luth as. terhadap kaumnya yang melakukan perbuatan keji yang belum pernah dilakukan kaum sebelumnya:

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِۦٓ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ ٱلْفَٰحِشَةَ مَا سَبَقَكُم بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِّنَ ٱلْعَٰلَمِينَ

(Ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya, "Sungguh kalian benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kalian.” (TQS al-Ankabut [29]: 28).

Merusak Regenerasi

Ocehan Mahfud MD bahwa gay dan lesbian adalah kodrat dari Tuhan makin bertabrakan dengan al-Quran dan as-Sunnah. Faktanya, penciptaan pria dan wanita bukan sekadar untuk memenuhi dorongan seksual, tetapi untuk tujuan mulia, yakni supaya umat manusia terus berketurunan. Firman Allah SWT:

وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا وَجَعَلَ لَكُم مِّنْ أَزَوَٰجِكُم بَنِينَ ‌وَحَفَدَةً 

Allah telah menjadikan bagi kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri dan telah menjadikan bagi kalian dari istri-istri kalian itu anak-anak dan cucu-cucu (TQS an-Nahl [16]: 72).

Kelahiran anak dan keturunan secara kodrati tidak mungkin tercapai jika manusia tidak berpasangan antara pria dan wanita. Allah SWT telah menciptakan pada keduanya kemampuan reproduksi yang saling menyempurnakan. Lelaki diberi kemampuan memproduksi sel sperma. Sebaliknya, pada wanita diciptakan sel telur, kemampuan untuk mengandung, melahirkan dan memberikan ASI. Allah SWT juga memberi wanita fitrah ummumah/motherhood. Dengan itu mereka bisa bersabar dan penuh kasih sayang merawat dan membesarkan anak-anak mereka.

Jika gay atau lesbian adalah kodrat, bagaimana mungkin manusia bisa beregenerasi? Untuk punya anak, kaum gay biasanya membayar wanita untuk menyewa rahimnya (surrogate mother), untuk mengandung anak mereka. Entah dengan sperma dari pasangan gay itu atau dari lelaki lain. Tambah lagi kerusakan kaum L68T, merusak nasab.

Karena itulah Islam mensyariatkan pernikahan yang di dalamnya terpenuhi pemenuhan kebutuhan biologis sekaligus mendapatkan keturunan yang terpelihara nasabnya. Semuanya bernilai pahala di hadapan Allah SWT. Demikian sebagaimana sabda Nabi saw.:

وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ . أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ

“Persetubuhan salah seorang di antara kalian (dengan istrinya) adalah sedekah.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah saw. menjawab, “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa? Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala.” (HR Muslim).

Inilah kerusakan pandangan Barat sekuler dan liberal. Mereka memahami hubungan pria-wanita melulu urusan libido seksual sesuai ajaran Sigmund Freud. Bahkan ia berilusi jika manusia menahan dorongan seksualnya akan menyebabkan dirinya sakit dan penderitaan. Akibatnya, hubungan seks bebas merajalela, termasuk perilaku gay dan lesbian. Berbagai perilaku menyimpang dan menjijikkan lain juga bermunculan seperti pedofilia, incest, bahkan hubungan seksual dengan hewan (bestiality) atau mayat (nekrofilia). Yang penting nafsu syahwat mereka terpenuhi. Tidak pandang merusak atau menjijikkan.

Jika pada tahun 1973 silam, Asosiasi Psikiater Amerika/American Psychiatric Association (APA) menyatakan homoseksual bukan gangguan jiwa atau penyakit lainnya, maka tinggal tunggu waktu saja beragam penyimpangan seksual yang kotor dan menjijikkan itu kelak akan dinyatakan sebagai perilaku normal.

Islam Melindungi Manusia

L68T bukan saja penyimpangan, tetapi juga ancaman kemanusiaan. Ia bisa menghambat regenerasi, amoral, menyebarkan penyakit kelamin. Sampai hari ini, kaum gay masih menjadi faktor dominan penyebaran penyakit kelamin HIV/AIDS dan kanker anus. 

Temuan terbaru di Yogyakarta pada bulan Mei menyebutkan penderita penyakit kelamin sifilis atau raja singa di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terus mengalami peningkatan sampai 100 persen setiap tahunnya. Kepala Bidang Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DIY, Setyarini Hestu Lestari mengatakan, tiga tahun terakhir, rata-rata kasus sifilis paling banyak diderita laki-laki yang melakukan hubungan seks sesama jenis.

Tanpa mempedulikan kerusakan tersebut, hari ini Barat terus mempropagandakan L68T ke seluruh dunia lewat media massa, film, bacaan, lagu-lagu, termasuk melalui para public figure seperti selebritis dan grup musik macam Coldplay. PBB dan berbagai perusahaan besar seperti Starbucks, Google, Facebook, dll juga mendukung gerakan L68T global. Miliaran dolar digelontorkan untuk kampanye L68T.

Tragisnya, di Indonesia, sebagai negeri dengan mayoritas Muslim, malah tidak ada perlindungan dari serbuan L68T ini. Bahkan KUHP terbaru tetap tidak menyebutkan gay dan lesbian sebagai tindak kriminal. Ini kian mengeksiskan kaum L68T dengan segala kampanye dan perilakunya. Padahal anggota dewan yang meloloskan KUHP ini mayoritas beragama Islam dan tahu keharaman L68T. Apakah mereka tidak takut dengan dosa dan ancaman Allah karena tidak melarang perkara yang sudah jelas diharamkan Allah SWT?
Ini adalah tanda kalau sistem demokrasi adalah lahan subur bagi tumbuh kembangnya perilaku L68T. Keberadaan dan perilaku mereka dijamin undang-undang sehingga tidak bisa dicegah oleh siapapun. Bahkan, jika nanti KUHP versi baru dilaksanakan, ia bisa mempidanakan orang-orang yang dianggap mengganggu aktivitas kaum L68T.

Lalu kapan umat akan sadar kalau hanya dalam Islam kehidupan mereka terlindungi sempurna? Padahal agama ini telah memiliki syariah sempurna yang akan melindungi umat manusia dari perilaku yang menyimpang. Islam telah melarang bahkan mengancam dengan sanksi keras untuk mereka yang melakukan aktivitas persetubuhan gay. Nabi saw. bersabda:

مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ

Siapa saja yang menjumpai orang yang melakukan perbuatan liwath (sodomi), sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Luth, maka bunuhlah kedua pasangan liwath tersebut (HR Abu Dawud).

Alhasil, selama umat tidak kembali pada pelaksanaan syariah dalam naungan Khilafah, sepanjang itu pula kaum L68T akan eksis dan mengancam kehidupan umat. 
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

---*---

Hikmah:

فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَٰلِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِّن سِجِّيلٍ مَّنضُودٍ

Tatkala datang azab Kami, Kami menjadikan negeri kaum Luth itu (terbalik) bagian atasnya berubah menjadi di bagian bawah, dan Kami menghujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi. (TQS Hud [11]: 82). []

Jumat, 19 Mei 2023

Tagged under: ,

Kriteria Pemimpin Dalam Islam

Buletin Kaffah No. 293 (29 Syawal 1444H/19 Mei 2023)

Ketua Majelis Pertimbangan PPP Romahurmuziy alias Romy baru-baru ini mengungkapkan harapannya agar publik (masyarakat) tidak menyoal kesalihan dari tiga nama calon presiden (capres) yang muncul di sejumlah lembaga survei nasional. Tiga nama itu adalah Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan. Hal itu terungkap dalam acara “Catatan Demokrasi” TVOne dikutip Rabu (10/5). 

“Dalam Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, kitab yang menjadi salah satu rujukan untuk tata negara dalam hukum Islam sekalipun, seorang pemimpin yang ahli maksiat pun masih memiliki hak untuk ditaati, sepanjang dia tidak melarang kebebasan beragama,” tegas Romy. 

Atas dasar itu, menurut Romy, yang menjadi persoalan krusial sebenarnya adalah kualitas dan kapasitas pemimpin itu sendiri. Bukan urusan kesalihan personal seorang pemimpin (Rmol.id, 10/5/2023).

Kriteria Pemimpin dalam Islam

Terkait pernyataan Romy di atas, setidaknya ada dua hal yang perlu kita soal. Pertama: Tentang kriteria calon pemimpin. Betulkah calon pemimpin tidak harus salih? Artinya, ia boleh berasal dari kalangan orang fasiq atau yang gemar bermaksiat (misal: suka nonton film porno), karena yang penting dia punya kapasitas kepemimpinan? Kedua: Sejauh mana seorang pemimpin wajib ditaati. Betulkah pemimpin fasiq atau ahli maksiat tetap wajib ditaati?

Sebagai Muslim, apalagi yang hidup di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sudah selayaknya kita menjadikan Islam (al-Quran dan as-Sunnah) sebagai satu-satunya standar dalam menetapkan calon pemimpin, juga dalam menyikapi perilaku dan kebijakan pemimpin.

Dalam banyak kitab fiqih siyâsah, termasuk Kitab Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah karya Imam al-Mawardi yang amat terkenal, yang juga dikutip oleh Romy, telah banyak dibahas sejumlah kriteria yang wajib ada pada diri calon pemimpin. Secara umum kriterianya sama. Yang berbeda hanya dalam aspek tertentu dan rinciannya. Kriteria umum pemimpin (kepala negara) dalam Islam yang dimaksud adalah: (1) Muslim; (2) Laki-laki; (3) Balig; (4) Berakal; (5) Merdeka (bukan budak/berada dalam kekuasaan pihak lain); (6) Adil (bukan orang fasiq/ahli maksiat); (7) Mampu (punya kapasitas untuk memimpin).

Ketujuh kriteria ini disebut juga dengan syarat-syarat in’iqâd (pengangkatan). Ketujuh syarat ini tentu didasarkan pada dalil al-Quran dan as-Sunnah (Lebih rinci, lihat: Abdul Qadim Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 50-53; Kitab Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 22-27).

Hal yang sama juga telah dibahas secara detail oleh al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1977 M), dalam kitabnya, Al-Khilâfah dan Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah (Jilid 2). Syarat-syarat kepala negara (Khalifah/Imam) ini juga dijelaskan dengan panjang lebar oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya, Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab. 

Karena itu jelas, di antara kriteria calon pemimpin (kepala negara) adalah harus orang yang adil (poin 6). Artinya, ia bukan orang fasiq (ahli maksiat) atau orang zalim. Sebabnya, kata adil memang sering dilawankan dengan kata fasiq atau zalim. Di antara ciri utama orang fasiq atau zalim adalah enggan berhukum dengan hukum-hukum Allah SWT. Dasarnya adalah firman Allah SWT:

وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

Siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum-hukum Allah, mereka itulah kaum yang zalim (TQS al-Maidah [5]: 45). 

وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ

Siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum-hukum Allah, mereka itulah kaum yang fasiq (TQS al-Maidah [5]: 47). 

Karena itu meski secara personal seorang calon pemimpin tampak baik, santun, ramah, cerdas, punya jiwa kepemimpinan, jika ia enggan berhukum dengan hukum-hukum Allah SWT dalam memimpin dan mengurus rakyat, atau tidak mau menerapkan syariah Islam dalam mengelola negara/pemerintahan, pada dasarnya ia terkategori zalim atau fasiq. Apalagi, sudahlah secara personal ahli maksiat, ia pun menolak hukum-hukum Allah atau terindikasi anti syariah Islam. Orang-orang fasiq atau zalim semacam ini jelas tidak layak menjadi pemimpin (kepala negara) karena berarti mereka bukan orang-orang yang adil. Apalagi, dalam Islam tugas utama kepala negara (Imam/Khalifah) adalah menerapkan hukum-hukum syariah. Demikian sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum:

اَلْخَلِيْفَةُ هُوَ الَّذِيْ يَنُوْبُ عَنِ اْلأُمَّةِ فِي الْحُكْمِ وَالسُّلْطَانِ وَفِيْ تَنْفِيْذِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ

Khalifah (kepala negara) adalah orang yang mewakili umat Islam dalam urusan kekuasaan atau pemerintahan dan penerapan hukum-hukum syariah (Zallum, Nizhâm al-Hukmi fî al-Islâm, hlm. 49).

Pemimpin yang Wajib Ditaati

Allah SWT memang telah mewajibkan kaum Muslim untuk mentaati pemimpin mereka. Allah SWT berfirman: 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ 

Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) serta Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kalian (TQS an-Nisa’ [4]: 59).

Ayat tersebut jelas menunjukkan kewajiban mentaati Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara umat Islam. Namun kemudian, ada yang menafsirkan ketaatan kepada penguasa dalam ayat tersebut bersifat mutlak dan berlaku umum untuk setiap pemegang kekuasaan (penguasa); tidak dilihat lagi apakah Ulil Amri itu Khalifah dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), ataukah penguasa dalam sistem pemerintahan sekular, seperti presiden dalam sistem republik, atau raja dalam sistem kerajaan (monarki) (Al-Mas’ari, Thâ’at Ulil Amri Hudûduhâ wa Quyûduhâ, hlm. 8-9).

Padahal yang dimaksud bukanlah sembarang penguasa, melainkan penguasa dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), yaitu Imam (Khalifah) dan para wakilnya (Al-Mas’ari, Thâ’at Ulil Amri Hudûduhâ wa Quyûduhâ, hlm. 17).

Ini sejalan dengan penjelasan Imam asy-Syaukani rahimahulLâh yang berkata:

وَ أُوْلِي اْلأَمْرِ هُمْ: اْلأَئِمَّةُ، وَ السَّلاَطِيْنُ، وَ الْقُضَاةُ، وَ كُلُّ مَنْ كَانَتْ لَهُ وِلاَيَةٌ شَرْعِيَّةٌ: لاَ وِلاَيَةً طَاغُوْتِيِّةً

Ulil Amri adalah para imam, para sultan, para qadhi (hakim) dan setiap orang yang memiliki kekuasaan syar’i, bukan kekuasaan bangsa thaghut (Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, 1/556). 

Ketaatan kepada Imam (Khalifah) dan para wakilnya tersebut juga terbatas pada perkara yang makruf (yang dibenarkan syariah Islam), bukan ketaatan pada segala perkara yang mungkar atau maksiat (Al-Mas’ari, Thâ’at Ulil Amri Hudûduhâ wa Quyûduhâ, hlm. 17)

Ini sejalan dengan penjelasan para mufassir terkait ayat di atas. Imam al-Baghawi dalam Ma’âlim at-Tanzîl, misalnya, setelah menafsirkan ayat di atas, menukil sebuah atsar: Ali bin Abi Thalib ra. berkata, "Hak yang wajib ditunaikan oleh seorang pemimpin adalah memutuskan perkara (berhukum) dengan apa yang telah Allah turunkan (al-Quran dan as-Sunnah) dan menjalankan amanah. Jika pemimpin telah melakukan hal itu maka hak yang wajib ditunaikan oleh rakyat adalah mendengar dan taat." (Lihat: Tafsîr al-Baghawi, QS an-Nisa [4]: 59).

Imam Ibnu Katsir dalam Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, setelah menafsirkan surat an-Nisa ayat 59 di atas, juga menukil hadis berikut:

وَعَنْ أُمِّ الْحُصَيْنِ أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَخْطُبُ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ يَقُولُ: "وَلَوِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبَدٌ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ، اسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا"

Dari Ummul Hushain bahwa dia pernah mendengar Rasulullah saw berkhutbah pada Haji Wada' bersabda, "Meskipun kalian diperintah oleh seorang budak, sementara ia memimpin kalian dengan Kitabullah (al-Quran), maka dengar dan taatilah dia." (HR Muslim).

Imam an-Nawawi menjelaskan maksud hadis di atas:

قَالَ الْعُلَمَاءُ: مَعْنَاهُ مَا دَامُوا مُتَمَسِّكِينَ بِالْإِسْلَامِ وَالدُّعَاءِ إِلَى كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى 

Para ulama berkata: Maksudnya adalah selama para pemimpin itu masih berpegang teguh dengan Islam dan menyeru pada Kitabullah (al-Quran) (An-Nawawi, Syarh ‘alâ Shahîh Muslim, 9/47).

Wajib Menegakkan Sistem Pemerintahan Islam

Jelas bahwa yang dituntut atas kaum Muslim sesungguhnya bukan sekadar memilih dan mengangkat pemimpin (kepala negara). Mereka pun dituntut untuk menegakkan sistem pemerintahan Islam (Imamah/Khilafah). Imam an-Nawawi menyatakan, “Umat wajib mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang menegakkan agama, membela Sunnah, menolong orang-orang yang dizalimi, serta memenuhi hak dan mengembalikannya pada posisinya. Saya tegaskan, pengangkatan Imamah (Khilafah) hukumnya fardhu kifayah.” 

Perlu dicatat, istilah Imam ini dinyatakan oleh Imam an-Nawawi dengan konotasi Khalifah dan Amirul Mu’minin. Beliau menyatakan, “Seorang Imam boleh disebut Khalifah, Imam dan Amirul Mukminin.” 

Ini dikuatkan oleh penjelasan Imam an-Nawawi dalam kitabnya, Al-Majmû’, “Imamah, Khilafah dan Imârah al-Mu’minîn adalah sinonim (banyak kata dengan konotasi sama).” 

Hal ini juga dikuatkan dengan penggunaan kata “Khilafah” dan “Khalifah” dalam kitab Ar-Rawdhah secara bersamaan dengan kata “Imam”, dan “Imamah”.

Jadi, tidak benar, jika Imam yang dimaksud oleh Imam an-Nawawi di sini tidak harus Khalifah, tetapi bisa Presiden, Raja, atau yang lain. Pernyataan seperti ini jelas menyesatkan. 

Masalah pengangkatan Khalifah ini sebenarnya telah dibahas oleh para fuqaha’ pada masa lalu, sebagaimana yang dibahas Imam al-Mawardi (w. 463 H), al-Juwaini (w. 478 H), al-Ghazali (w. 505 H) hingga Imam an-Nawawi (w. 676 H). Imam an-Nawawi telah membahas masalah ini dalam kitabnya, Rawdhah ath-Thâlibîn wa ‘Umdah al-Muftîn, juga dalam Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab.

Jadi bagaimana mungkin ada yang mengklaim Ahlus Sunnah Wal Jamaah tetapi menolak Khilafah? Apalagi rukun kedua belas, sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Qahir al-Baghdadi (w. 429 H), dalam kitabnya, Al-Farqu bayna al-Firaq, adalah meyakini perkara pokok, yaitu kewajiban menegakkan Khilafah (Imamah). 

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

---*---

Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ. فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا مَا أَقَامَ لَكُمْ كِتَابَ اللَّهِ

Hai sekalian manusia, bertakwalah kalian kepada Allah meski kalian dipimpin oleh hamba sahaya dari Habasyi. Dengar dan taatilah dia selama dia masih menegakkan Kitabullah (al-Quran) atas kalian. (HR at-Tirmidzi dan an-Nasa’i).

Jumat, 07 April 2023

Tagged under: ,

Al-Quran Pembawa Perubahan Menuju Kemuliaan

BULETIN DAKWAH KAFFAH – 289
16 Ramadhan 1444 H/7 April 2023 M

Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya al-Quran diturunkan. Fungsinya adalah sebagai petunjuk bagi umat manusia. Tentu agar mereka tidak tersesat di dunia. Allah SWT berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya al-Quran diturunkan, sebagai petunjuk bagi manusia, yang mengandung berbagai penjelasan atas petunjuk tersebut, sekaligus sebagai pembeda (haq dan batil) (TQS al-Baqarah [2]: 185).
Bukan hanya turun pada bulan Ramadhan sebagai bulan yang amat istimewa, al-Quran pun turun pada malam yang juga sangat istimewa, yakni Lailatul Qadar. Allah SWT berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
_Sungguh Kami menurunkan al-Quran pada saat Lailatul Qadar_ (TQS al-Qadr [97]: 1).
Turunnya al-Quran sesungguhnya adalah peristiwa yang amat dahsyat. Secara tidak langsung hal demikian bisa kita pahami dari ayat lain, yakni firman Allah SWT berikut:
لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
_Andai al-Quran ini Kami turunkan di atas gunung, kamu (Muhammad) pasti menyaksikan gunung itu tunduk dan pecah berkeping-keping karena takut kepada Allah. Perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka mau berpikir_ (TQS al-Hasyr [59]: 21).
Saat menafsirkan ayat ini, Imam ath-Thabari menyatakan, “Gunung itu tunduk dan terpecah-belah karena begitu takutnya kepada Allah meskipun gunung itu amat keras. Tidak lain karena gunung tersebut sangat khawatir tidak sanggup menunaikan hak-hak Allah yang diwajibkan atas dirinya, yakni mengagungkan al-Quran.” (Ath-Thabari, _Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur'ân_, 23/300).
Adapun Imam al-Baidhawi menafsirkan ayat ini dengan menyatakan, _“Ayat ini merupakan gambaran betapa besarnya kehebatan dan pengaruh al-Quran.”_ (Al-Baidhawi, _Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl_, 3/479).
Karena itulah, menurut Abu Hayan al-Andalusi, ayat ini merupakan celaan kepada manusia yang keras hati dan perasaannya tidak terpengaruh sedikit pun oleh al-Quran. Padahal jika gunung yang tegak dan kokoh saja pasti tunduk dan patuh pada al-Quran, sejatinya manusia lebih layak untuk tunduk dan patuh pada al-Quran (Abu Hayan al-Andalusi, _Bahr al-Muhîth_, 8/251).
Sayang, apa yang dinyatakan oleh Abu Hayan al-Andalusi ini justru banyak terjadi saat ini. Banyak manusia tidak tunduk dan patuh pada al-Quran. Banyak yang bahkan tidak bergetar saat al-Quran dibacakan. Boleh jadi hal itu karena banyak hati manusia yang sudah mengeras. Bahkan lebih keras dari batu. Tak sedikit pun terpengaruh oleh bacaan al-Quran. Apalagi tergerak untuk mengamalkan al-Quran dan menerapkan hukum-hukumnya, yakni syariah Islam. Bahkan saat ini ada upaya mengaitkan penegakan syariah Islam dengan radikalisme. Secara tidak langsung mereka ini telah berbuat jahat terhadap al-Quran sebagai sumber syariah Islam.
*Al-Quran dan Perubahan*
Sejarah membuktikan bahwa al-Quran benar-benar membawa perubahan besar bagi umat manusia. Dulu, sebelum al-Quran diturunkan, Bangsa Arab terkenal sebagai bangsa yang dipenuhi dengan kebodohan dan kezaliman. Ragam kemaksiatan mereka lakukan. Di antaranya: perzinaan, perjudian, mabuk-mabukan, penipuan dalam jual-beli, riba, pembunuhan terhadap bayi-bayi yang baru lahir, peperangan antarsuku, dll. Semua itu adalah di antara ragam kemaksiatan yang telah mendarah daging di tengah-tengah masyarakat. Kemaksiatan mereka paling besar tentu saja kemusyrikan dengan tradisi penyembahan terhadap berhala. Berhala ini mereka pertuhankan. Padahal mereka sendiri yang membuat berhala tersebut. Itulah mengapa zaman itu disebut sebagai zaman jahiliah (kebodohan).
Namun demikian, saat Baginda Rasulullah saw. diutus kepada mereka dengan membawa al-Quran, dalam waktu relatif singkat, hanya sekitar 23 tahun, bangsa Arab—yang kemudian menjadi bangsa Muslim—berubah 180 derajat. Dari kegelapan menuju cahaya. Dari kejahiliahan menuju kemuliaan. Dari kebiadaban menuju keadaban. Dari sebuah bangsa yang tidak diperhitungkan menjadi bangsa yang memimpin peradaban selama rentang waktu yang amat panjang.
Tak tanggung-tanggung, selama tidak kurang dari 14 abad kaum Muslim menguasai dua pertiga dunia dengan peradabannya yang tinggi dan mulia. Hal itu telah banyak diakui bahkan oleh para cendekiawan Barat yang jujur. Emmanuel Deutscheu, seorang cendekiawan Jerman, misalnya, pernah berkata, “Semua ini (yakni kemajuan peradaban Islam, _red_.) telah memberikan kesempatan baik bagi kami (Eropa) untuk mencapai kebangkitan (renaissance) dalam ilmu pengetahuan modern. Karena itu sewajarnyalah kami senantiasa mencucurkan airmata tatkala kami teringat akan saat-saat jatuhnya Granada.” (Granada adalah benteng terakhir Kekhilafahan Islam di Andalusia yang jatuh ke tangan bangsa Kristen Eropa).
Hal senada diungkapkan oleh Montgomery Watt, “Cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi ‘dinamo’-nya, Barat bukanlah apa-apa.”
Hal senada juga dinyatakan oleh Will Durrant, Jacques C. Reister dan masih banyak yang lain. Bahkan mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama, saat berpidato pada tanggal 5 Juli 2009, antara lain menyatakan, “Peradaban dunia berutang besar pada Islam. Islamlah—di tempat-tempat seperti Universitas Al-Azhar—yang mengusung lentera ilmu selama berabad-abad serta membuka jalan bagi era kebangkitan Kembali dan era pencerahan di Eropa.” (_Republika.co.id_, 20 Juni 2009).
Yang tidak diakui secara jujur bahkan cenderung ditutup-tutupi oleh Barat adalah fakta bahwa seluruh pencapaian kemajuan peradaban Islam dan kaum Muslim selama berabad-abad itu terjadi di sepanjang era Khilafah Islam. Bahkan boleh dikatakan, semua pencapaian kemajuan itu tidak lepas dari peran sentral Khilafah. Kecemerlangan sejarah itu terjadi ketika umat Islam menerapkan sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah, yang menjadikan al-Quran sebagai sumber hukum yang mengatur segenap aspek kehidupan umat manusia.
*Berkat al-Quran*
Semua pencapaian kemajuan peradaban Islam dan kaum Muslim selama berabad-abad itu tentu berkat al-Quran. Ini pun diakui bahkan oleh para cendekiawan Barat sendiri. “Hendaklah diingat, al-Quran memegang peranan yang lebih besar bagi kaum Muslim daripada Bibel dalam agama Kristen…Sungguh, sebuah kitab seperti ini patut dibaca secara meluas di Barat, terutama di masa kini…” (E. Denisen Ross, seperti dikutip dalam buku _Kekaguman Dunia Terhadap Islam_).
Prof. G. Margoliouth dalam _De Karacht van den Islam_ juga menulis, “Penyelidikan telah menunjukkan bahwa yang diketahui oleh sarjana-sarjana Eropa tentang falsafah, astronomi, ilmu pasti dan ilmu pengetahuan semacam itu, selama beberapa abad sebelum Renaissance, secara garis besar datang dari buku-buku berbahasa Arab. Al-Quranlah yang memberikan dorongan pertama untuk studi-studi itu di antara orang-orang Arab dan kawan-kawan mereka.”
Itu sebabnya, W.E. Hocking berkomentar, “Oleh karena itu, saya merasa benar dalam penegasan saya bahwa al-Quran mengandung banyak prinsip yang dibutuhkan…” (_The Spirit of World Politics_, 1932, hlm. 461).
*Pentingnya Kembali pada al-Quran*
Sebagai konsekuensi keimanan pada al-Quran, kaum Muslim jelas wajib senantiasa merujuk pada al-Quran; baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun bernegara. Apalah artinya mengimani al-Quran sebagai petunjuk kehidupan, namun dalam keseharian petunjuk al-Quran itu dicampakkan. Isinya tidak diamalkan. Hukum-hukumnya tidak diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Padahal faktanya, saat al-Quran dicampakkan, sebagaimana terjadi saat ini, kehidupan kaum Muslim nyaris berantakan di berbagai sisi. Kemiskinan, misalnya, masih terus terjadi, justru di tengah keberlimpahan kekayaan negeri. Angka pengangguran masih tinggi. Ketimpangan sosial dan ekonomi makin tak terkendali. Korupsi makin menjadi-jadi. Kriminalitas (seperti pencurian, pemerkosaan, pembunuhan, dll) makin mengiris hati. Kerusakan moral (seperti seks bebas, LGBT, dll) makin terbuka dan makin berani. Ketidakadilan hukum makin terang-terangan dipertontonkan. Semua kerusakan ini tidak lain sebagai akibat dari sikap umat Islam, khususnya para penguasanya, yang enggan diatur oleh al-Quran. Allah SWT berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
_Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran) maka bagi dia kehidupan yang sempit dan pada Hari Kiamat nanti Kami akan membangkitkan dia dalam keadaan buta_ (TQS Thaha [20]: 124).
Karena itu, agar bangsa ini tidak terus-menerus dalam kesempitan hidup dan keterpurukan, mau tidak mau, mereka wajib kembali pada al-Quran. Mereka wajib mengamalkan al-Quran dan menerapkan seluruh hukumnya. Apalagi mengamalkan al-Quran dan menerapkan seluruh hukumnya merupakan wujud hakiki dari ketakwaan sebagai hikmah yang harus diraih dari puasa Ramadhan. Saat takwa benar-benar mewujud secara kolektif di negeri ini, yang dibuktikan dengan mengamalkan dan menerapkan al-Quran dalam seluruh aspek kehidupan, pasti ragam keberkahan akan Allah SWT berikan kepada bangsa ini. Allah SWT berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
_Jika penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan membukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat- Kami). Karena itu Kami mengazab mereka karena apa yang telah mereka lakukan itu_ (TQS al-A’raf [7]: 96).
_WalLâhu a’lam bi ash-shawâb_. []
*Hikmah:*
Utsman bin Affan ra. (w. 35 H) berkata:
لَوْ طَهَرَتْ الْقُلُوْبُ لَمْ تَشْبَعْ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
_Jika hati bersih maka ia tidak akan kenyang dari membaca al-Quran_ (Al-Ghazali, Ihyâ' 'Ulûm ad-Dîn, 3/ 5). []